Alur Cerita Rudy Habibie
Alur cerita film Rudy Habibie (Habibie & Ainun 2) dimulai ketika masa kanak – kanak Habibie di Parepare, saat Jepang masih menguasai tanah air. Adegan pertama kita dapati Habibie dan adiknya yang berada di puncak bukit bertepatan dengan datangnya pesawat bomber dari Jepang.
Adik Habibie nyaris terjatuh, dipegangi oleh kakaknya hingga akhirnya bisa di tarik ke atas lalu menyusul ibu dan saudaranya yang sudah berlari bersama rombongan pengungsi.
Dalam keadaan genting demikian, Habibie sudah ‘gila’ dari jaman kecilnya teringat dengan buku – buku dan mainan pesawatnya nekat pulang ke rumah di bawah hujan bom yang sewaktu – waktu bisa saja mengenai rumahnya.
Karena kekacauan yang terjadi, walau tanpa kepastian kedua orang tua Habibie pulang ke Gorontalo, ke rumah kedua orang tua dari ayah Habibie. Sepertinya kisah cinta kedua orang tuanya bukan kisah yang begitu mulus dengan restu dari kedua orang tuanya.
Beruntungnya, mereka di terima dengan baik, hingga masa kanak – kanak Habibie berlanjut di sini melewati saatnya di sunat.
Memang dari awal, Habibie sudah sangat banyak ingin tahu tentang pesawat, sudah ingin membuat pesawat, berkat dukungan dan dorongan serta ide – ide dari ayahnya yang juga visioner.
Saat sholat berjamaah dengan ayahnya sebagai imam, sang ayah tak kunjung bangkit dari sujud terakhirnya walau berungkali mereka ingatkan dari belakang. Penasaran, Habibie bangkit dari sujudnya dan merangkak mendekati ayahnya hanya untuk menemukan ayahnya sudah tiada.
Menyadari hal tersebut, Habibie mengambil alih posisi ayahnya dan melanjutkan sholat dengan menahan tangis. Semua saudara dan ibunya mulai menyadari apa yang terjadi, selepas salam tangis seisi rumah tak tertahankan lagi.
Anak macam apa yang bisa sekuat itu, kalau bukan Habibie?
Kuliah Di Aachen
Fast forward, Habibie sudah beranjak dewasa dan tiba pertama kali di Aachen untuk kuliah di sana setelah lompat 3 tahun dari kuliah di ITB Bandung. Kejeniusan habibie memang terbukti dengan menorehkan namanya di urutan kedua saat mengikuti ujian masuk di kampusnya.
Pergaulannya pun mulai meluas di Jerman, mulai teman kuliah di ITB Liem Keng Kie, teman muslim dari Turki hingga beberapa mantan tentara gerilya dan beberapa keluarga ningrat yang mendapat beasiswa di sana.
Dalam perkuliahan prestasi Habibie sungguh gemilang, penelitiannya pertama kali langsung menelurkan solusi dari masalah yang dihadapi pesawat – pesawat dalam masa itu yang sering tidak responsive hingga kadang pilot tewas bukan karena gugur di medan pertempuran, tapi karena jatuh pesawatnya.
Kisah Cinta Pertama Habibie
Habibie adalah bintang yang berkilau tajam di antara teman – temannya, tak heran banyak gadis yang tertarik padanya. Terlebih saat dia mulai aktif dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dan akhirnya terpilih sebagai ketuanya.
Salah satu gadis yang dekat dengan Habibie adalah Illona, seorang pelajar berkebangsaan Polandia yang jatuh cinta pada budaya Indonesia, bahkan lancar berbahasa Indonesia karena pengalamannya pernah tinggal di bunker berbulan – bulan bersama seorang suster dari Ambon.
Illona sejak perkenalan pertama kali langsung merasa nyaman dengan Habibie, dan begitu juga sebaliknya. Illona menjadi orang yang selalu percaya dengan semua ide dan gagasan Habibie, saat teman sebangsanya sendiri justru menganggap mimpi membangun industri dirgantara adalah omong kosong.
Pertentangan muncul dari sebagaian besar anggota PPI, rekan sebangsanya sendiri. Karena berbagai latar belakang, mulai dari tidak suka, merasa tersaingi, hingga patah hati karena pupus harapannya.
Dari perseteruan ini, bahkan sampai hadir seorang perwakilan dari kedutaan yang menentang ide Habibie untuk membangun industri dirgantara ini. Sempat terjadi adu mulut yang sengit dan semuanya menyadari lalu mengalah saat argumen yang disampaikan Habibie tentang fakta dan masalah bangsa yang bisa ditemukan solusinya dengan membangun industri ini.
Faktanya usia rata – rata penduduk Indonesia sudah 60 – 80 tahun, masalahnya 20 tahun ke depan sudah harus ada generasi yang melanjutkan pembangunan, lalu apa, dengan apa Indonesia akan jaya kalau tidak dengan membangun industri pesawat terbang?
Such a visionary, and brilliant, right?
Dengan penjelasan gamblang demikian, masih saja berat untuk memberikan dukungan, ada restu namun tidak akan pernah ada dana yang mendukung mimpi besar ini.
Dengan susah payah untuk mencari sponsor, akhirnya akan digelar acara konferensi tentang mimpi besar industri kedirgantaraan ini. Pihak kedutaan mewajibkan nama Republik Indonesia ada dalam berbagai media publikasi acara seperti pamflet dan sebagainya, setelah menolak menyokong dana sepeser pun.
Habibie menolak keras permintaan ini, hingga ketegangan makin memuncak karena paspor semua rekannya terancam dicabut dan mulai ciut. Tak cukup hanya itu, bahkan sebagian rekannya yang dari awal menentang idenya mengeroyok Habibie dan rekan – rekannya.
Tak patah arang dengan mimpinya, disebarkannya pamflet acara tersebut sendirian dibawah derasnya salju. Tekatnya memang sangat kuat, keras kepala dan pantang menyerah, hingga tubuhnya yang menyerah, rebah tak sadarkan diri.
Habibie sakit hingga dirawat di rumah sakit, bahkan hingga ibunya menjenguk ke Jerman. Sebuah kunjungan yang menyenangkan bagi seluruh mahasiswa di sana, karena banyak oleh – oleh yang dibawa dan tentunya mereka rindu figur seorang orang tua dari negeri sendiri.
Hal yang kontras di alami oleh Illona, karena semenjak mengetahui kedekatan habibie dan Illona ibunya nampak kecewa dengannya. Ibunya menemui Illona dan mengharapkannya masuk Islam dan ikut ke Indonesia kalau ingin tetap bersama Habibie. Sungguh pilihan yang berat, Illona tak tahu harus berbuat apa selain menjauh dari Habibie.
Kandasnya Cinta Pertama Habibie
Selepas kepulangan ibunya, Habibie makin jarang bertemu dengan Illona. Bertemu sekali, Illona masih menutup diri, lari dari Habibie. Tapi tidak sulit juga menemukannya, karena Illona sudah terlanjur cinta budaya Indonesia, dia pasti ada saat anak – anak dari Indonesia berkumpul dalam sebuah acara.
Diatas sebuah jembatan kecil, Habibi mengajak Illona membuka benang kusut dari hubungan mereka. Melihat semuanya berdasar faktanya, masalahnya dan solusi yang harus mereka temukan untuk tetap bersama.
Illona mengajak Habibie pindah ke Bonn, ibukota Jerman Barat karena dia sudah diterima bekerja di sana agar terus bisa bersama. Habibie masih bisa menjadi mata air yang memberikan kesegaran bagi seluruh umat manusia — seperti yang kerap disampaikan ayahnya — dari Jerman dan biarkan alirannya menjangkau Indonesia dengan sendirinya.
Sesuai dengan yanjg dijanjikan, Habibie menemui Illona pada Senin pagi di stasiun. walau kenyataan pahit dan air mata harus sama – sama mereka tumpahkan, perpisahan tak bisa dielakkan.
Habibie lebih cinta Indonesia dan memilih untuk pergi ke Prague bersama teman mahasiswa lainnya nya untuk mengikuti konferensi kedua yang membahas mimpi industri pesawat Indonesia.
end story.
Cinta Pertama vs Cinta Indonesia
Sebagian orang mungkin lebih melihat film ini sebagai film percintaan pak Habibie di masa muda. Saya melihat dan memperhatikan dari sudut pandang yang agak berbeda. Menurut saya yang dismpaikan film ini berimbang, antara kisah perjuangan mempertahankan mimpi kejayaan bangsa yang ada di benak Habibie versus kisah cinta pertama Habibie.
Fakta, masalah, solusi adalah sebuah konsep kerangka berpikir yang ‘ditemukan kembali’ dalam film ini. Sebuah perumusan yang simple dan efisien dalam menjadikan kita orang yang produktif, karena kebanyakan kita sekarang seringnya fokus pada masalah dan siapa yang dipersalahkan, daripada melihat akar masalah (fakta) terlebih dahulu sebelum mencari solusi.
Quote Film Rudy Habibie (Habibie & Ainun 2)
Salah satu quote Rudy Habibie yang mengena dalam benak saya adalah saat terjadi perdebatan dengan duta besar saat meminta ijin acara yang ditentang. Di situ Habibie berteriak lantang;
Percuma bangsa kita merdeka kalau tidak memiliki Integritas!
Dan karena kerasnya tekat Habibie, tanpa takut untuk menapakkan sorot mata garangnya, akhirnya pak dubes memberi ijin.
Bagi saya, film Rudy Habibie (Habibie & Ainun 2) wajib ditonton agar semakin banyak dari kita yang memiliki pemandangan dan tekat kuat seperti Bapak Presiden ke-3 Republik Indonesia ini. Bahkan mungkin pada salah satu jam pelajaran di kelas sesekali layak ditayangkan film ini. (y)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar